Dugaan Luka Akibat Bunuh Diri
Baru-baru ini, terjadi 2 kasus bunuh diri di Kota Cirebon. Yang pertama dilakukan dengan cara gantung diri, sedangkan yang kedua, dengan cara melompat dari ketinggian. Menurut studi, banyak bunuh diri bukanlah hal yang dilakukan secara terencana. Penelitian yang dilakukan oleh Matthew Miller, M.D., Sc.D., dan David Hemenway, Ph.D. dalam The New England Journal of Medicine mengemukakan sebanyak 33 hingga 80 persen pelaku bunuh diri berlaku impulsif saat memutuskan bunuh diri. Sebanyak 24 persen di antara mereka baru memutuskan bunuh diri dalam waktu kurang dari 5 menit sebelum kejadian. Sekitar 70 persen mengambil keputusan untuk bunuh diri satu jam sebelum kejadian. Para pelaku bunuh diri juga sebelumnya kerap membuat beragam pertimbangan dan terbersit keraguan. Bahkan faktanya, sebanyak 94 persen dari 515 orang yang selamat dari usaha bunuh diri di Jembatan Golden Gate antara tahun 1937 dan 1971 mendapatkan kematian secara wajar. Mereka mungkin tak mau mengulangi kesakitan yang sama untuk mengakhiri hidupnya. Rasa sesal juga pernah diungkapkan Kevin Hines, salah satu pelaku aksi bunuh diri dengan cara melompat dari Jembatan Golden Gate. Di tahun 2000, Hines yang saat itu berusia 18 tahun depresi, dan mondar-mandir di jembatan selama setangah jam tanpa ada yang mengacuhkan. Ia kemudian melompat karena berasumsi tak ada lagi yang peduli. Namun, setelah berhasil diselamatkan dari usaha bunuh diri, ia menyesal. “Apa yang baru saja saya lakukan? Saya tak ingin mati,” katanya kepada The New Yorker. Kisah lainnya diceritakan Ken Baldwin, saat melompat untuk bunuh diri, ia memutuskan langsung melewati pagar pembatas ketimbang harus berdiri terlebih dulu di atasnya. Baldwin tak ingin kehilangan keberanian untuk terjun saat berada di atas pagar pembatas jembatan. Meski begitu, ia berubah pikiran sesaat setelah melompat. \"Saya langsung sadar semua yang saya pikir tak bisa diatasi sesungguhnya bisa diatasi, kecuali [kenyataan] bahwa saya baru saja melompat,” kata Baldwin. Tapi bagaimana jika Hines dan Baldwin melompat dari gedung tinggi dan mendarat di darat, lalu benar-benar mati? Apa yang terjadi pada tubuh-tubuh yang (berusaha) bunuh diri ini? Lain cara, lain respons. Bunuh diri dengan cara menggantung leher pada seutas tali, misalnya. Sebelum mendapatkan kematian, tubuh akan meronta karena mengalami kondisi kekurangan oksigen luar biasa. Nyeri teramat sangat akan dialami pada bagian tengkuk dan dada. Kemudian, tulang leher patah dan terjadi pendarahan di otak. Jika bunuh diri dilakukan dengan cara menenggak pil tidur, pelaku terlebih dulu harus melewati rasa sakit yang luar biasa karena perutnya beradaptasi untuk menolak racun dan mengeluarkan semua pil yang ditelan. Dada akan mulai sesak, keringat dingin membanjiri seluruh tubuh, dan reaksi penolakan selanjutnya adalah muntah-muntah. Di saat-saat meregang nyawa seperti inilah, biasanya para pelaku bunuh diri menyesali tindakannya. Namun, meski selamat, pelaku upaya bunuh diri yang menelan pil tidur ini tak lagi bisa hidup dengan normal. Ginjal bisa rusak karena dipaksa kerja ekstra-keras menyaring zat-zat dalam pil yang jumlahnya banyak. Bisa jadi, karena kesakitan-kesakitan yang harus diterima sebelum mati itulah maka para pelaku upaya bunuh diri seringkali ragu akan keputusannya. Banyak di antaranya baru memutuskan mengakhiri hidup di menit-menit terakhir sebelum upaya bunuh diri dilakukan, tanpa perencanaan di jauh-jauh hari. Pemberitaan ramai oleh kabar duka cita akibat aksi bunuh diri, khususnya dengan cara melompat dari tempat tinggi. Pada Sabtu, (4/5/2019), seperti diwartakan Radar Cirebon, seorang pemuda mencoba mengakhiri hidupnya dengan melompat dari Lantai 3 PGC karena kisah asmaranya. Pemuda tersebut masih selamat dan hanya mengalami sejumlah luka. Pada saat melakukan bunuh diri dengan melompat dari tempat tinggi, kemungkinan tubuh akan mengalami cedera yang mengakibatkan kematian. Terutama para pelompat yang mendarat di landasan yang keras, bukan air seperti pelompat di Jembatan Golden Gate. Yang paling sering mengakibatkan kematian adalah cedera tulang belakang. Penelitian Brett Rocos dan Tim J Chesser menunjukkan sebanyak 83 persen pelaku mengalami patah tulang di tulang dada thoracolumbar. Cedera selanjutnya yang mungkin berakibat fatal dan membawa kematian adalah cedera pada kepala. Cedera pada bagian tubuh ini bertanggung jawab atas 55 persen kematian seketika pada pelaku bunuh diri dengan melompat. Sebanyak 70 persen dari 124 pelaku bunuh diri dengan cara ini mengalami cedera fatal pada kepalanya. Anggota tubuh lainnya yang kemungkinan rusak saat melakukan lompatan tinggi adalah bagian panggul. Meski persentasenya tak sebesar tulang belakang dan kepala, tapi cedera panggul bertanggung jawab atas 30 persen kematian akibat bunuh diri dengan melompat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: